Selasa, 12 Desember 2017

Gagasan dan Pemikiran Harun Nasution


Gagasan dan Pemikiran Harun Nasution
1. Peranan Akal 
Berkaitan dengan peran akal, Harun Nasution menulis demikian: “Akal melambangkan kekuatan manusia”. Karena akallah manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain disekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggi pula kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah kekuatan akal manusia, bertambah lemah pulalah kesanggupannya untuk menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.
Dalam sejarah Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, akan tetapi dalam perkembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam sendiri. Pemikiran akal dalam Islam diperintahkan Al-Qur’an sendiri. Bukanlah tidak ada dasarnya apabila ada penulis-penulis, baik di kalangan Islam sendiri maupun di kalangan non-Islam, yang berpendapat bahwa Islam adalah agama rasional.
2. Pembaharuan Teologi
Teologi adalah ilmu yang mempelajari ajaran-ajaran dasar suatu agama. Dalam Islam, teologi disebut sebagai ‘ilm al-kalam. Secara umum, pemikiran Harun tentang teologi rasional maksudnya adalah bahwa kita harus mempergunakan rasio kita dalam menyikapi masalah. Namun bukan berarti menyepelekan wahyu. Karena menurutnya, di dalam Al-Qur’an hanya memuat sebagian kecil ayat ketentuan-ketentuan tentang iman, ibadah, hidup bermasyarakat, serta hal-hal mengenai ilmu pengetahuan dan fenomena natur. Menurutnya, di dalam Al-Qur’an ada dua bentuk kandungan yaitu qath’iy al dalalah dan zhanniy al-dalalah. Qath’iy al dalalah adalah kandungan yang sudah jelas sehingga tidak lagi dibutuhkan interpretasi. Zhanniy al-dalalah adalah kandungan di dalam Al-Qur’an yang masih belum jelas sehingga menimbulkan interpretasi yang berlainan. Disinilah dibutuhkan akal yang dapat berpikir tentang semua hal tersebut. Dalam hal ini, keabsolutaan wahyu sering dipertentangkan dengan kerelatifan akal.
Pandangan ini, serupa dengan pandangan kaum modernis lain pendahuluannya (Muhammad Abduh, Rasyid Ridho, Al afghani, Said Amer dan lainnya) yang memandang  perlu untuk kembali kepada teologi islam sejati. Retorika ini mengandung pengertian bahwa umat islam dengan teologi fatalistik, irasional, pre-deteminisme serta penerahan nasib telah membawa nasib mereka menuju kesengsaraan dan keterbelakangan.
Dengan demikian, jika hendak mengubah nasib umat islam, menurut Harun Nasution, umat islam hendaklah merubah teologi mereka menuju teologi yang berwatak, rasional serta mandiri. Tidak heran jika teori moderenisasi ini selanjutnya menemukan teologi dalam khasanah islam klasik sendiri yakni teologi Mu’tazilah.
3. Hubungan akal dan wahyu
Salah satu fokus pemikiran Harun Nasution adalah hubungan akal dan wahyu. Ia menjelaskan bahwa hubungan akal dan wahyu memang menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an. Orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan.
Dalam pemikiran Islam, baik di bidang filsafat dan ilmu kalam, apalagi di bidang ilmu fiqih, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk kepada teks wahyu. Teks wahyu tetap dianggap benar. Akal dipakai untuk memahami teks wahu dan tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan pemberi interpretasi. Yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam sebenarnya bukan akal dan wahyu, tetapi penafsiran tertentu dari teks wahyu dengan lain dari teks wahyu itu juga. Jadi, yang bertentangan sebenarnya dalam Islam adalah pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain.
Menurut Harun Nasution, ajaran Islam harus dibagi menjadi 2, yaitu:
1)   Ajaran Islam yang bersifat dasar dan absolut
Ajaran ini hanya sedikit, yakni 4 hal:
a)    Tidak boleh ada dalam pemikiran Islam bahwa Allah tidak ada.
b)   Tidak boleh ada kesimpulan dalam pemikiran Islam bahwa Al-Qur’an bukan wahyu.
c)    Tidak boleh ada kesimpulan dalam pemikiran Islam bahwa Muhammad bukan rasul Allah.
d)   Tidak boleh ada kesimpulan dalam pemikiran Islam bahwa hari akhir tidak ada.
Malaikat menjadi perdebatan orang, takdir dan ikhtiar juga menjadi masalah dalam sejarah pemikiran Islam. Jadi, jika ada pemikiran Islam yang menyimpulkan menyimpang dari keempat hal tersebut, maka itu bukan pemikiran Islam lagi.
2)   Ajaran Islam yang bersifat pengembangan.
Dalam pemikiran teologi Islam modern, seorang muslim dirangsang untuk berpikir rasional, yakni pemikiran Islam yang tidak takut pada falsafat, tidak merendahkan kemampuan akal, tidak sempit dan tidak dogmatis. Meski terkadang terjadi goncangan-goncangan pemikiran ketika mendiskusikan ilmu kalam, falsafat Islam, tasawuf dan pembaruan dalam Islam. Ketika mendiskusikan masalah kaitan perbuatan manusia dengan perbuatan atau penciptaan Tuhan, pada umumnya seorang muslim sudah memiliki pendirian bahwa paham Jabariah dan lawannya, Qadariah, adalah dua paham yang salah, dan meyakini adanya paham ketiga, yaitu paham kasab, yang diyakini benar, yang posisinya berada di tengah Jabariah dan Qadariah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar