Minggu, 20 Oktober 2019


Monday, 21 October 2019

Nama    : Zainil Rifangi

NIM     : 17101020041
Matkul : Sejarah Umat Islam Minoritas

Fenomena Diskriminasi Terhadap Muslim di Singapura

Singapura adalah salah satu negara maju di kawasan Asia Tenggara yang menerapkan pemisahan antara agama dan negara. Persoalan agama menjadi sensitifitas dan lebih ditangani secara internal. Sekulerisme sudah menjadi dasar berbangsa dan bernegara. Tidak terkecuali dalam perlakuan terhadap penganut suatu agama. Seperti yang terjadi pada Muslim di Singapura.
Muslim di Singapura secara historis sudah menjadi minoritas sejak lama. Diskriminasi terhadap Muslim terjadi dalam setiap sendi kehidupan. Walaupun perlakuan terhadap umat Islam menunjukkan progress yang baik namun disisi lain menyisakan permasalahan-permasalahan seperti diskriminasi terhadap umat Islam. Diskriminasi yang terjadi seperti kurang maju dibanding dengan golongan yang lain di semua bidang. Di bidang pendidikan, jumlah Muslim lulusan universitas hanya 2,7% dari jumlah keseluruhan lulusan. Persentase Muslim dalam pekerjaan dan jabatan yang tinggi juga rendah. Di bidang politik, pemerintah menyediakan satu menteri Muslim dalam kabinet, contohnya adalah Menteri Urusan Sosial (Dr. Mattar). Untuk bidang politik sendiri sudah ada kemajuan dengan terpilihnya presiden perempuan Muslim pertama dalam sejarah pemerintahan Singapura yaitu Presiden Halimah Yacoob. Tetapi, di Singapura partai PAP (Peoples Action Party) mendominasi percaturan politik seolah-olah otoriter.
Secara ekonomi, Muslim di Singapura berada diantara yang paling rendah. Pemuda-pemuda Muslim juga kesulitan mencari pekerjaan. Selain kesulitan mencari pekerjaan pemuda-pemuda Muslim juga memiliki persentase kecil dupanggil untuk dinas militer nasional. Tidak ada penganiayaan atau penyiksaan terbuka terhadap Muslim akan tetapi juga tidak banyak usaha untuk menolong karena sebagai minoritas (M. Ali Kettani, 2005: 220-221).
Pasca tragedi 11 September 2001, Asia Tenggara mulai meningkatkan keamanan dan kewaspadaan, termasuk Singapura. Sentimen terhadap Muslim Melayu di Singapura bertambah dan muncul fenomena Islamofobia. Dengan adanya peristiwa tersebut pemerintah Singapura  menerapkan kebijakan terhadap agama. Tindakan tersebut dilakukan karena adanya peningkatan ketaatan terhadap agama para umat Muslim di Singapura yang dirasa mempunyai kerentanan terhadap propaganda muslim radikal.
Salah satu kebijakan yang diskriminatif adalah larangan memakai jilbab atau no-tudung. Penyebab dikeluarkan kebijakan ini dikarenakan sensitifitas pemerintah Singapura terhadap kasus-kasus internasional yang mengatasnamakan umat Islam khususnya mengenai terorisme seperti tragedi WTC di Amerika. Bukti konkret dari diskriminasi ini diantaranya terjadi di salah satu sekolah dimana para siswi Muslim yang mengenakan jilbab diskros dari sekolah umum tersebut. Terdapat dugaan bahwa kebijakan ini lebih mengarah kepada perlindungan bagi masyarakat mayoritas yaitu ras Cina agar umat Islam minoritas tidak melakukan perlawanan. Larangan menggunakan jilbab ini terjadi sekitar tahun 2002 yang kemudian pada tahun 2013 isu pelarangan jilbab ini kembali terjadi yang melibatkan wanita Muslim dilarang menggunakan jilbab di tempat kerja (http://hi.umy.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/LAPORAN-PENELITIAN-STIGMA-TENTANG-MUSLIM-MELAYU-upload.pdf, akses 19 Oktober 2019).
Perlu diketahui juga, dalam studi Government Restrictions Index (GRI) dan Social Hostilities Index (SHI), yaitu sebuah studi penelitian mengenai pembatasan pemerintah terhadap agama dan permusuhan atau konflik sosial agama, Singapura termasuk yang mengalami peningkatan. Data yang diperoleh yaitu Juni 2007 (GRI) 4.6 (SHI) 0.2, Desember 2012 (GRI) 5.3 (SHI) 0.4, Desember 2013 (GRI) 6.6 (SHI) 1.0. Dari hasil data tersebut menunjukkan bahwa di Singapura terjadi peningkatan dalam pembatasan agama dan konflik maupun diskriminasi dari tiga kali studi penelitian (Pew Research Center, 2015: 59).